Rakyat di Hulu, Untung di Hilir?

Suara yang Belum Teraliri dari Kerinci
Oleh: Harul Mukri Ananta
Kader HMI Komisariat IS UNP
Hangtuah.com- Kompensasi yang Tertunda di balik proyek raksasa
Pembangunan PLTA Kerinci Merangin Hidro (KMH), dengan kapasitas 350 Megawatt dan nilai investasi lebih dari Rp 13 triliun, bukan hanya soal teknologi dan listrik.
Di balik riuh pembangunan bendungan dan turbin, ada masyarakat adat, petani, dan nelayan sungai yang terdampak secara langsung. Hingga kini, belum ada kejelasan mengenai kompensasi yang menyentuh aspek dasar kehidupan: sambungan listrik murah, pemulihan lingkungan, atau relokasi yang manusiawi.
Secara prinsip, kompensasi terhadap masyarakat terdampak bukanlah pemberian, melainkan hak konstitusional. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, menekankan kewajiban negara dan swasta untuk melindungi hak masyarakat dalam proyek strategis nasional.
Dampak Sosial Ketika Pembangunan Mengasingkan Warga di Kerinci, sebagian warga di wilayah hulu Sungai Batang Merangin mengalami
keterbatasan akses air bersih, perubahan aliran sungai, serta ancaman hilangnya lahan pertanian.
Namun hingga kini, tidak ada kebijakan publik yang menjamin perlindungan sosial langsung dari pembangunan ini. Bahkan, masih banyak warga yang belum mendapat sambungan listrik PLN
secara penuh, ironi di tengah pembangkit energi raksasa yang berdiri di halaman rumah mereka sendiri.
Perbandingan penting muncul dari PLTA Cisokan, Jawa Barat, yang memberikan sambungan listrik gratis melalui kerja sama PLN dan program CSR. Demikian pula, PLTU Soma di Karimun, yang menggratiskan listrik bagi 61 keluarga nelayan. Bahkan, proyek geothermal di Lahendong, Sulawesi Utara, memberdayakan masyarakat sekitar melalui koperasi energi lokal.
Dari contoh-contoh ini, jelas bahwa kompensasi bisa dilakukan jika ada kemauan politik dan etika korporasi yang berpihak pada keadilan sosial.
Jalan Tengah, Bukan Seremonial
Pemerintah daerah, PT Kerinci Merangin Hidro, dan tokoh-tokoh nasional yang terlibat mesti duduk bersama dan merumuskan perjanjian benefit-sharing yang konkret:
1. Listrik gratis atau bersubsidi untuk radius minimal 10 km dari lokasi proyek.
2. Dana kompensasi tetap dan jangka panjang untuk pendidikan, kesehatan, dan ekonomi
warga terdampak.
3. Audit lingkungan independen, termasuk pemulihan ekologis dan pelibatan warga dalam pengawasan.
4. Partisipasi masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, termasuk ruang dialog adat yang formal.
Penghargaan dan Keadilan
Baru-baru ini, muncul wacana masyarakat Kerinci ingin memberikan gelar kehormatan kepada Jusuf Kalla sebagai “Depati Negarawan Kemanusiaan.” Niat baik ini lahir dari budaya menghargai tokoh yang membawa pembangunan.
Namun, penghargaan tidak boleh mengaburkan fakta bahwa kompensasi adalah hak, bukan sedekah. Jangan sampai
masyarakat terjebak dalam simbolisme, sementara hak dasar mereka justru diabaikan.
Apa gunanya 350 Megawatt jika rakyat hidup dalam 350 alasan untuk marah? Berikan listrik,
sebelum kemarahan menjadi nyala yang tak bisa dipadamkan!