Listrik PLTA Kerinci: Bukan Soal Gratis, Tapi Soal Keadilan Ekologis dan Kemakmuran Rakyat

Oleh: Zomi Wijaya
Hangtuah.com – Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kerinci menjadi narasi pembangunan yang kerap dibingkai dalam bahasa kemenangan: investasi besar, listrik melimpah, dan yang paling menggoda adalah harapan listrik gratis untuk masyarakat sekitar. Namun di balik slogan-slogan itu, ada pertanyaan yang lebih mendasar dan jauh lebih penting: untuk siapa energi ini dihasilkan? Dan bagaimana pembangunan ini menjawab keadilan ekologis serta kemakmuran rakyat Kerinci itu sendiri?
Pertama-tama, perlu kita sadari bahwa alam Kerinci bukanlah lahan kosong yang menunggu untuk “dimanfaatkan”. Ia adalah ruang hidup. Sungai-sungai yang kini dijinakkan oleh bendungan PLTA telah menjadi urat nadi masyarakat adat, petani, nelayan sungai, serta ekosistem yang lebih luas. Dengan kata lain, sumber daya ini tidak “menganggur”, melainkan bekerja dalam jaringan ekologis dan sosial yang telah berlangsung ratusan tahun. Maka, ketika air dijadikan komoditas industri energi, kita sedang berbicara tentang pergeseran nilai, dari sumber penghidupan rakyat menjadi objek kapital.
Ironisnya, warga yang tanahnya dijadikan lokasi PLTA atau yang tinggal berdekatan dengan infrastruktur raksasa itu, kerap tidak menikmati listrik yang murah, apalagi gratis. Mereka justru menjadi saksi dari transformasi ruang hidup mereka menjadi mesin produksi energi nasional. Dalam logika keadilan ekologis, ini adalah paradoks. Jika listrik dari sungai Kerinci mengaliri kawasan industri atau kota-kota besar yang jauh dari sumber air, sedangkan masyarakat lokal tetap dibebani tarif listrik seperti biasa, maka pembangunan ini tidak inklusif, tetapi eksploitatif.
Listrik bukan cuma soal terang atau gelap, tetapi tentang struktur distribusi kekuasaan. Ketika PLTA hadir tanpa melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan, pengawasan, dan pembagian manfaat, maka ia hanyalah monumen pembangunan yang menjauhkan rakyat dari kendali atas sumber dayanya sendiri.
Oleh karena itu, diskusi tentang PLTA Kerinci tidak bisa berhenti pada tuntutan listrik gratis. Gratis hanyalah permukaan dari persoalan yang lebih dalam: hak rakyat atas lingkungan dan energi. Yang dibutuhkan adalah skema yang menjamin kemakmuran bersama, bukan sekadar subsidi, tapi model kepemilikan dan pengelolaan energi yang memberi tempat bagi komunitas lokal sebagai aktor utama. Ini adalah soal keadilan ekologis: memastikan bahwa pembangunan tidak sekadar meminjam nama rakyat, tetapi sungguh-sungguh menyejahterakan mereka.
Saatnya kita geser lensa dari sekadar “berapa harga listrik” menjadi “siapa yang menguasai energi dan untuk kepentingan siapa energi itu bekerja.” Sebab di ujung setiap kabel listrik dari PLTA Kerinci, seharusnya mengalir bukan hanya cahaya, tetapi juga keadilan dan harapan.